"Korean Martial Art and Modern Combat Sport Practices All Over the World!!!"

17 September 2012

Seumur Hidup untuk Taekwondo

Seumur Hidup untuk Taekwondo NAMA S Alfons Lung Tekwan menjadi buah bibir ketika pria asli Kalimantan Timur (Kaltim) ini menyabet perak di kelas bantam pada laga Asian Games XII di Hiroshima, Jepang. Namanya pun tercatat di Museum Rekor Taekwondo Indonesia (Murti) sebagai orang Indonesia pertama peraih medali perak di kelas bantam Asian Games. Kini, setelah pensiun menjadi atlet, ia menjadi tokoh penyusun strategi untuk mengembangkan bela diri asal Negeri Gingseng, Korea Selatan. Kesibukan Alfons memaksa media ini menggunakan jalur telepon seluler untuk berkomunikasi. Pria yang lahir di Kutai Barat, 26 Desember 1973 ini sedang menjalankan tugasnya sebagai Ketua Bidang Pembinaan Prestasi (Binpres) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kaltim di Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Pekanbaru, Riau. “Sambil makan, ya?” ucapnya saat wawancara dengan Kaltim Post. Alfons bercerita bagaimana perjuangannya dulu ketika masih menjadi atlet. Saat masih anak-anak, dirinya dikenalkan dengan olahraga keras ini oleh teman. Dirinya masih kelas lima SD saat itu. Selain mengasah otak selama jam pelajaran, mental dan fisiknya ikut dibentuk dari Taekwondo. Meski keras, Alfons menganggap belajar ilmu bela diri pasti akan berguna. Terutama baginya yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. “Ayah saya seorang guru. Sedangkan ibu hanya ibu rumah tangga. Sedangkan kami keluarga besar dengan enam bersaudara. Jadi saat itu tak ada keberanian untuk bercita-cita. Lantas saya diajak teman. Saya melihat Taekwondo, meski olahraga keras, tapi seksi,” ucap lulusan Institut Theologia Mahkota Zion International Jakarta 2008 ini. Semula, pada umur tujuh tahun, ayah Alfons, YH Tekwan Imang pindah tugas mengajar di SD Katolik 1 WR Soepratman Samarinda, dimana Alfons lantas melanjutkan pendidikannya. “Umar Bakrie” itu pun memboyong keluarga hijrah ke Samarinda. Berkat belajar Taekwondo, dirinya mampu menghindari perilaku negatif dari lingkungan sekitar. Maklum, dirinya menyebut saat itu tinggal di “Texas”nya Samarinda. Pergaulannya pun berada di lingkungan anak-anak putus sekolah dan buruh pengangkut pasir. “Orang tua mendukung saya belajar Taekwondo. Yang terpenting bisa membuat saya melakukan kegiatan positif. Daripada berkeliaran di jalan. Taekwondo ini yang menyelamatkan saya dari pengaruh buruk lingkungan,” tutur bapak dua anak ini. Olahraga yang dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai “seni tangan dan kaki” atau “jalan” atau “cara kaki dan kepalan” ini ditekuninya hingga masuk ke jenjang SMA. Hasil latihannya bertahun-tahun pun dilirik oleh kepengurusan Taekwondo. Hingga ketika baru menjalani satu semester di SMA 5 Samarinda, dia dikirim menjalani pemusatan latihan di Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan, Jakarta. Peluangnya semakin terbuka untuk menjadi atlet profesional. Saat itu di 1989, ia lulus mengikuti Pra-PON dan dikirim sebagai perwakilan Kaltim di PON XIII Jakarta. Hasil perjuangannya berbuah manis. Dirinya menyabet medali perak. Nama Kaltim yang sebelumnya tak bersinar, mampu mensejajarkan diri lewat Taekwondo. “Saat itu senang sekali. Apalagi membawa nama Kaltim menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya,” katanya. Meski dukungan keluarga diungkapkannya tidak sampai berada di tengah pertandingan. “Banyak anak yang diurus. Yang terpenting bagi mereka (orang tua), saya mampu untuk berprestasi,” tambah Alfons. Dari enam saudaranya, hanya Alfons yang menjadi atlet. Kariernya sebagai atlet pun semakin bersinar. Dari lima PON yang pernah diikutinya, empat kali dia mendapat medali perak. “Saya jadi spesialis medali perak,” kekehnya. Kemudian puncaknya ketika 1994 di Asian Games, bendera Indonesia mampu berkibar lewat tendangan dan pukulan anak ketiga dari enam bersaudara ini. Ayah dari Sheila Alvira dan Timotius Gean ini lantas memutuskan pensiun menjadi atlet nasional di 2001. Dirinya ingin ada regenerasi baru yang bisa membawa Kaltim meraih prestasi lebih tinggi. Ia pun memtuskan menjadi pelatih Taekwondo. Meski sudah tidak menjadi atlet lagi, Alfons mengatakan jika Taekwondo tak bisa lepas dari kehidupannya. “Banyak teman yang saya dapat dari Taekwondo. Habitat saya dan pasangan hidup pun saya temukan di sini,” ujar suami Eny Pangestuningsih ini. Ada aturan dan filosofi bagi kami yang terjun di dunia Taekwondo. Yakni mengajarkan, membimbing, dan membina generasi selanjutnya. “Dan hasilnya, Taekwondo Kaltim kini berkembang pesat dan prestasinya melampaui generasi saya dulunya,” kata pria yang memakai sabuk hitam saat kelas satu SMA ini. Kini darah atletnya menurun ke anaknya, Sheila Alvira. Kini putrinya itu merintis karier menjadi atlet junior di Sekolah Khusus Atlet Indonesia (SKOI) Kaltim di cabang yang sama, Taekwondo. (*/rdh/wan)

0 komentar: